Sejarah Mahkamah Rakyat

Dimulai dari Tribunal Russell pada 1967, tribunal masyarakat sipil muncul untuk mengisi kekosongan normatif yang diciptakan oleh kemunafikan dari keadilan internasional. Setelah Perang Dunia II, hanya kejahatan negara yang kalah yang diadili, sementara kejahatan pemenang diabaikan. Hal itu menciptakan “keadilan pemenang” yang tidak memenuhi standar hukum atau keadilan.

People Tribunal pertama diselenggarakan oleh Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre. Tribunal Russell menyelidiki dan mengevaluasi kebijakan luar negeri dan intervensi militer Amerika Serikat di Vietnam.

Tribunal Russell menginspirasi kemunculan tribunal rakyat seperti Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) dan International People’s Tribunal (IPT) terhadap beragam kejahatan serius seperti perang, agresi, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di banyak negara, termasuk yang berkaitan dengan Indonesia. Tidak ada format khusus bagi masyarakat untuk menyelenggarakan People Tribunal, tapi ada 3 model People Tribunal yang menjadi contoh yakni:

  • International War Crimes Tribunal yang pertama kali dilakukan oleh Bertrand Russell. PT ini dimulai pada tahun 1966 dan berfokus pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Vietnam yang dinamakan “Russell Tribunal on Vietnam”. Tribunal ini dilakukan oleh akademisi dan filsuf seperti Sartre dan Simone de Beauvoir.
  • Kategori kedua yakni milik senator Italia, Lelio Basso yang dibentuk pada 1979. Basso terinpsirasi terhadap langkah Russell dan kemudian Ia membentuk Permanent People’s Tribunal (PPT). Model ini memungkinkan para pemohon yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia mengajukan permohonan pemeriksaan melalui PPT dan kemudian melalui PPT tersebut dikeluarkan surat nasehat.
  • People Tribunal kategori ketiga yakni people tribunal yang benar-benar independen. Format PT ini dibentuk oleh kelompok masyarakat sipil yang menginisiasi prosesnya.

Hingga saat ini, lebih dari delapan puluh tribunal rakyat sudah diselenggarakan, baik yang bersifat permanen seperti PPT, maupun yang ad hoc berdasarkan kasus-kasus tertentu. Berikut beberapa negara yang pernah digugat Tribunal Rakyat atau People’s Tribunal:

Amerika Serikat

Tribunal Russel yang dilaksanakan dalam dua sesi di Stockholm, Swedia dan Roskilde, Denmark pada 1967 menyatakan tindakan-tindakan tertentu dan pelanggaran perjanjian oleh Amerika Serikat di Vietnam merupakan kejahatan perang dan pelanggaran terhadap hukum internasional. Salah satu vonis yang paling signifikan adalah tuduhan genosida oleh Amerika Serikat terhadap rakyat Vietnam.

Meskipun temuan Tribunal Russell tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak diakui secara resmi oleh pemerintah Amerika Serikat, tribunal tersebut berpengaruh kuat dalam sejarah hukum internasional dan gerakan hak asasi manusia (HAM). Tribunal Russell merupakan contoh awal dari tribunal rakyat yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat namun memberikan platform bagi korban pelanggaran HAM untuk bersuara.

Indonesia

Indonesia pernah digugat lewat International People’s Tribunal (IPT) 1965. Pengadilan rakyat internasional itu membahas kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi di Indonesia pada peristiwa 1965 dan setelahnya.

IPT 1965 mengungkap fakta-fakta tentang peristiwa 1965 dan keterlibatan negara-negara barat dalam kampanye militer terhadap pendukung Gerakan 30 September (G30S). Sebanyak 500.000 hingga satu juta orang yang dituduh sebagai anggota atau pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh. Selain itu, banyak orang ditahan tanpa pengadilan, menghilang, atau diasingkan.

Hasil keputusan final sidang IPT 1965 di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966. Kejahatan tersebut meliputi pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.

IPT 1965 merekomendasikan negara untuk menyampaikan permintaan maaf, menggelar penyelidikan dan pengadilan, serta memberikan kompensasi dan santunan yang setimpal. Indonesia menolak putusan dan rekomendasi IPT 1965 dengan dalih negara tidak berkewajiban untuk menjalankan putusan tersebut karena tidak mengenal sistem pengadilan semacam itu.

China

The International Coalition To End Transplant Abuse In China (ETAC) pada 2019 menginisiasi pembentukan The Independent Tribunal into Forced Organ Harvesting from Prisoners of Conscience in China. Tribunal Rakyat ini menyelidiki praktik pengambilan organ paksa terhadap narapidana di China, terutama terhadap praktisi Falun Gong dan muslim Uighur.

Berdasarkan kesimpulan akhir yang dikeluarkan di London, Inggris, pada 17 Juni 2019, panel berisi tujuh anggota tribunal menemukan bukti tentang pembunuhan yang disponsori atau disetujui oleh negara, pemusnahan, penahanan, pemerkosaan, dan penyiksaan; penganiayaan etnis, ras, atau agama; serta penculikan paksa. Akan tetapi, panel tidak dapat membuktikan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut mencapai tingkat genosida.

Pemerintah China menolak temuan-temuan dari tribunal ini dan menganggapnya sebagai fitnah. Mereka mengklaim praktik pengambilan organ di China dilakukan dengan prosedur yang sah dan sesuai dengan hukum.

Menanggapi temuan tribunal ini, ETAC meminta para dokter dan organisasi kesehatan di seluruh dunia untuk menghentikan kerja sama dengan China terkait transplantasi organ tubuh.

Myanmar

Myanmar pernah digugat lewat Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) yang berlangsung di Fakultas Hukum University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, pada 18-22 September 2017. Tribunal ini menangani tuduhan kejahatan negara yang diduga dilakukan di Myanmar terhadap Rohingya, Kachin, dan kelompok lainnya.

Tribunal menyatakan pemimpin pemerintah Myanmar melakukan genosida terhadap etnis Rohingya dan kekejaman terhadap minoritas Kachin. Aung San Suu Kyi dianggap sebagai pihak yang bersalah dalam kejahatan kemanusiaan tersebut.

Tribunal memberikan 17 rekomendasi yang ditujukan untuk pemerintah dan rakyat Myanmar, termasuk negosiasi paket gencatan senjata dan demiliterisasi. Pemerintah Myanmar belum memberikan tanggapan resmi yang memadai terhadap rekomendasi dan kesimpulan dari Tribunal.