Waktunya Sudah Habis
Pemerintahan yang seharusnya menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin menjauh dari amanah UUD 45.
Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya
Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Mahkamah Rakyat Luar Biasa (MRLB)

PUTUSAN MAHKAMAH RAKYAT LUAR BIASA Dalam PERKARA Antara PENGGUGAT MELAWAN TERGUGAT

Memutuskan Rezim Jokowi Bersalah
Dalam video ini, Mahkamah Rakyat Luar Biasa mengungkap mekanisme pelanggaran konstitusional oleh rezim Jokowi, yang dijuluki "Nawadosa" — sembilan dosa besar terhadap rakyat.

Kita dibiarkan berjuang sendiri-sendiri. Menguras keringat dan perasaan untuk hidup yang bermartabat. Upah terkuras untuk kebutuhan dasar yang seharusnya disediakan negara. Pendidikan, akses penghidupan serta tempat tinggal yang layak semakin sulit dan mahal. Sumber air dan pangan serta udara rakyat diambil paksa dan dicemari polusi industri ekstraktif.
Puluhan kematian anak-anak bangsa di lubang-lubang tambang milik oligarki tak pernah diproses hukum. Pelanggaran-pelanggaran hukum hak asasi merajalela tidak pernah diadili dan mendapatkan keadilan. Ini adalah dampak kartel ekonomi yang semakin disokong oleh kitab UU Cipta Kerja karya rezim Jokowi.
Selama ini kita berjuang sendirian. Hak berkumpul dan bersuara semakin dibungkam. Ekspresi kita direpresi. Sedangkan oligarki rezim Jokowi mengamankan pundi-pundi lewat regulasi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat semakin jauh. Kondisi keselamatan rakyat semakin rentan.
Hukum kini hanya melayani oligarki. Mari kembalikan kedaulatan pada tangan rakyat. Waktunya sudah habis.
Tercekik UU Cipta Kerja
“Akhir 2023 terjadi PHK secara mendadak di tempatku bekerja, aku salah satu korbannya. Shock banget, semuanya serba mendadak, tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Pesangon hanya setengah dari jumlah hak karena perusahaan merugi. Ini dampak dari UU Cipta Kerja. Benar-benar menyengsarakan pekerja.”
Pontang-panting Cari Pemasukan Tambahan
“Harga kebutuhan pokok terus naik, ada cicilan apartemen, biaya sekolah anak mahal, aku dan suami harus putar otak cari pemasukan tambahan. Mau gimana lagi, kebutuhan rumah tangga lebih mendesak, apa saja bisa dikerjakan. Karena gue dan suami pontang-panting kerja, jadi mesti hire PRT untuk beres-beres dan asuh anak. Pengeluaran bertambah.”
Hidup Tak Ada Jaminan
Sangkaan (bahwa) ojol motor listrik itu diprioritaskan aplikasi, itu bohong. Kalau lagi sepi, anyep juga. Pendapatan rata-rata dalam seminggu sekitar Rp600-800 ribu. Itu belum dikurangi biaya sewa motor listrik Rp280 ribu per minggu (Rp40 ribu per hari), sisa duit digunakan untuk menghidupi keluarga di Jabodetabek yang serba mahal.
Dilema Pekerja Lepas
“Ekosistem pekerjaan lepas ini memang menawarkan fleksibilitas waktu dan lokasi bekerja, tapi gue tetap merasa enggak aman karena tidak ada standar upah dan jenjang karier. Kadang pekerjaan gue udah kelar, tapi sebulan kemudian masih belum dibayar. Pembayaran upah banyak yang tertunda dengan berbagai alasan. Ujungnya gali lubang, tutup lubang, demi dapur tetap ngebul.”
Sampai Kantor Capek, Tiba di Rumah Remuk
“Stres karena kelamaan di jalan. Baru sampai tempat kerja udah capek, pas balik sampai rumah badan terasa remuk. Kadang gue mikir, kok rumah gue jauh banget, ya. Tapi kalau beli rumah di Ibu Kota mana sanggup, enggak ada duit,”
Jadi Tua di Perjalanan
“Gue tua di jalan, waktu 3 jam habis buat PP rumah dan kantor. Energi terserap habis. Cape belum kelar, tapi harus ngantor lagi. Kerja jadinya kurang maksimal, pekerjaan agak molor selesainya,”
Harga Beras dan Lauk-pauk Makin Mencekik
“Misal biasa beli beras 5 kilogram di kisaran Rp60 ribu, sekarang lebih dari Rp80 ribu, belum kebutuhan pokok lainnya. Harga pangan olahan di warung makan juga ikut naik. Jadinya masak sendiri dan beli makanan di warung sama mahalnya. Ditambah biaya sewa indekos cukup mahal, sementara beli rumah dengan skema KPR di kota sekitaran Jakarta pun tak sanggup.”
Generasi Sandwich tak Pernah Bisa Nabung
“Generasi sandwich kayak aku ini boro-boro bisa nabung. Aku mesti bantu biayai sekolah adik, satu masih SMP dan satu lagi kuliah tingkat akhir. Buat makan sehari-hari saja aku harus ngirit, kadang enggak cukup sampai akhir bulan.”
Cek Kesehatan Semakin Mahal
“Kesehatanku sempat drop. Aku periksa di klinik Faskes 1 BPJS Kesehatan dua kali dalam sepekan, dua dokter ngasih diagnosis yang beda. Karena tak kunjung membaik, aku minta rujukan ke rumah sakit. Di sana aku juga diperiksa ala kadarnya dan tak ada pemeriksaan lab. Aku cuma bisa nangis, buat tahu aku sakit apa aja berbelit-belit. Akhirnya aku ke RS lain dengan pembayaran mandiri. Aku baru diperiksa secara proper dan dapat pelayanan kesehatan yang maksimal. Tapi biayanya mahal banget.”
Biaya Pendidikan dan Sistemnya Bikin Sulit
“Dilema banget, mau masukin anak ke sekolah negeri, tapi dipersulit sistem PPDB. Sementara kalau ke sekolah swasta mesti merogoh kocek sangat dalam. Katanya sekolah adalah hak dasar setiap individu, tapi biayanya makin kesini makin mahal. Lalu, pajak yang kami bayarkan ke negara ini larinya ke mana sih?”
Gaji Bulanan Saja Kadang Minus
“Potongan gaji saat ini saja sudah besar untuk pajak, JHT, BPJS Kesehatan, sampai iuran koperasi di perusahaan. Gaji bulanan aja sering enggak tersisa, bahkan minus. Sekarang ditambah potongan 2,5 persen buat Tapera. Mana belum pasti dapat rumah dengan program tersebut. Hitungannya enggak masuk saat harga rumah terus naik,”
Tambahan Beban bernama Tapera
“Cicilan KPR untuk rumah saya yang jaraknya puluhan kilometer dari Jakarta saja di atas Rp3 juta per bulan. Semestinya pemerintah membuat harga rumah jadi murah, juga berantas mafia tanah, bukannya memberatkan pekerja dengan potongan gaji.”

Perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat
Ambisi Presiden Joko Widodo terhadap investasi mengakibatkan maraknya perampasan ruang hidup masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, pemerintah menggunakan terminologi “eco” atau “green” untuk melancarkan bisnisnya. Kasus IKN misalnya, demi ambisi pemerintah memindahkan ibukota negara, masyarakat adat dipaksa pindah dari wilayahnya. Bukan itu saja, masyarakat adat dihadapkan pada bencana ekologi akibat pembangunan ibukota negara. Penggusuran paksa juga terjadi di Rempang, alih-alih melindungi masyarakat, pemerintah justru berpihak pada pebisnis untuk membangun Rempang Eco City.

Kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi
Meski Indonesia merupakan negara demokrasi, nyatanya keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha semakin nyata. Ini terlihat dari kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat yang membela haknya. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak kerusakan lingkungan di wilayahnya, seperti yang terjadi pada kasus Wadas, Rempang, hingga kriminalisasi terhadap buruh. Pengerahan aparat besar-besaran dengan senjata untuk berhadapan dengan massa aksi juga terjadi. Fenomena No Viral No Justice atau bagaimana aparat negara tidak memproses laporan masyarakat sebelum laporan tersebut viral, misalnya korban kekerasan seksual yang laporannya dibiarkan mangkrak oleh pihak kepolisian, persekusi dan pelanggaran ruang privat terhadap komunitas LGBTIQ.

Kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas
Hukum yang tajam ke bawah di era Jokowi sering terlihat. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat di Papua dan pelanggengan impunitas. Contoh lain yakni peristiwa Kanjuruhan yang memakan ratusan korban jiwa tidak diselesaikan dengan adil.

Komersialisasi, Penyeragaman, Penundukan Sistem Pendidikan
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara justru dikomersialisasi. Uang masuk sekolah yang mahal berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru. Sistem pendidikan yang ada pun dibuat untuk memenuhi kepentingan kapital.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan tindakan perlindungan koruptor
10 tahun kepemimpinan Jokowi, kita bisa melihat bagaimana KPK dilemahkan. Aksi besar-besaran #ReformasiDikorupsi menjadi bukti penggembosan KPK secara besar-besaran. Penindakan yang lemah bagi para koruptor, pemecatan pegawai KPK yang menolak upaya penggembosan KPK, hingga perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan keluarga Jokowi yang menjadi bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia.

Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Program Solusi Palsu untuk Krisis Iklim
Di tengah maraknya bencana krisis iklim yang terus terlihat, pemerintah justru menjerumuskan dan semakin merentankan masyarakat melalui solusi palsu. Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA seperti penghancuran wilayah Indonesia bagian Timur untuk proyek hilirisasi nikel, solusi ketenagalistrikan yang masih menggunakan batubara, hingga penggunaan biomassa yang menebang hutan secara besar-besaran. Kesepakatan kerjasama pendanaan transisi yang didominasi oleh utang seperti JETP pun direncanakan tidak digunakan dengan bijak seperti untuk proyek serta skema solusi palsu yang pada akhirnya hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang terdampak proyek ketenagalistrikan ataupun transisi energi yang tidak mendapatkan informasi komprehensif mengenai skema transisi, ataupun akses partisipasi yang bermakna, serta jaminan akan penegakan hukum serta pemulihan.

Sistem Kerja yang memiskinkan dan menindas pekerja
Keberadaan UU Cipta Kerja mengakibatkan buruh kehilangan banyak haknya. Selain itu sistem upah murah dan fleksibilitas tenaga kerja dilegalkan dengan dalih untuk memperbanyak investasi. Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan keselamatan pekerja. Sebagai contoh kecelakaan kerja yang banyak terjadi di perusahaan hilirisasi nikel. Sistem kerja mitra yang terjadi pada ojek online juga menyengsarakan karena tidak adanya jaminan jam kerja. RUU Pekerja Rumah Tangga yang tidak segera disahkan.

Pembajakan Legislasi
Perkawinan pemerintah dan pengusaha dalam rezim Jokowi mengakibatkan pembajakan legislasi. Akibatnya, kekerasan terhadap masyarakat sipil pun meningkat. Keberadaan UU ITE, Omnibus Law, Bank Tanah, Perppu Ormas, UU Minerba, hingga pengesahan RKUHP justru mempersempit demokrasi di Indonesia.

Militerisme dan militerisasi
Untuk mengamankan proyek-proyek investasi tersebut, pemerintah menggunakan label Proyek Strategis Nasional, sehingga mereka mengerahkan TNI untuk melindungi proyek para pengusaha.
Sejarah Mahkamah Rakyat
Dimulai dari Tribunal Russell pada 1967, tribunal masyarakat sipil muncul untuk mengisi kekosongan normatif yang diciptakan oleh kemunafikan dari keadilan internasional. Setelah Perang Dunia II, hanya kejahatan negara yang kalah yang diadili, sementara kejahatan pemenang diabaikan. Hal itu menciptakan “keadilan pemenang” yang tidak memenuhi standar hukum atau keadilan.
People Tribunal pertama diselenggarakan oleh Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre. Tribunal Russell menyelidiki dan mengevaluasi kebijakan luar negeri dan intervensi militer Amerika Serikat di Vietnam.

Bagaimana kamu bisa terlibat dalam People Tribunal ini?





Surat yang masuk ke panitia hanya dibaca oleh kurator yang dapat dipercaya untuk kemudian diberikan kepada tim perumus gugatan, sehingga hanya kurator yang dapat mengakses nama dan domisilimu.
Keterlibatan dalam Mahkamah Rakyat ini tidak kami batasi dari mengirim surat dan pengaduan saja, kamu juga bisa terlibat dengan meramaikan di sosial media.
Kamu dapat menceritakan keresahanmu sepanjang 10 tahun kepemimpinan Jokowi dengan menggunakan hastag #MahkamahRakyat.
Ajak pula kawan-kawan, keluarga, atau kenalanmu lainnya untuk terlibat dalam meramaikan acara ini.
Sesi 1 - Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya
Buka di YouTubeSesi 2 - Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya
Buka di YouTube
Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya