Waktunya Sudah Habis
Pemerintahan yang seharusnya menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin menjauh dari amanah UUD 45.
Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya
Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Mahkamah Rakyat Luar Biasa (MRLB)
Kita dibiarkan berjuang sendiri-sendiri. Menguras keringat dan perasaan untuk hidup yang bermartabat. Upah terkuras untuk kebutuhan dasar yang seharusnya disediakan negara. Pendidikan, akses penghidupan serta tempat tinggal yang layak semakin sulit dan mahal. Sumber air dan pangan serta udara rakyat diambil paksa dan dicemari polusi industri ekstraktif.
Puluhan kematian anak-anak bangsa di lubang-lubang tambang milik oligarki tak pernah diproses hukum. Pelanggaran-pelanggaran hukum hak asasi merajalela tidak pernah diadili dan mendapatkan keadilan. Ini adalah dampak kartel ekonomi yang semakin disokong oleh kitab UU Cipta Kerja karya rezim Jokowi.
Selama ini kita berjuang sendirian. Hak berkumpul dan bersuara semakin dibungkam. Ekspresi kita direpresi. Sedangkan oligarki rezim Jokowi mengamankan pundi-pundi lewat regulasi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat semakin jauh. Kondisi keselamatan rakyat semakin rentan.
Hukum kini hanya melayani oligarki. Mari kembalikan kedaulatan pada tangan rakyat. Waktunya sudah habis.
Tercekik UU Cipta Kerja
Pontang-panting Cari Pemasukan Tambahan
Hidup Tak Ada Jaminan
Dilema Pekerja Lepas
Sampai Kantor Capek, Tiba di Rumah Remuk
Jadi Tua di Perjalanan
Harga Beras dan Lauk-pauk Makin Mencekik
Generasi Sandwich tak Pernah Bisa Nabung
Cek Kesehatan Semakin Mahal
Biaya Pendidikan dan Sistemnya Bikin Sulit
Gaji Bulanan Saja Kadang Minus
Tambahan Beban bernama Tapera
Perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat
Ambisi Presiden Joko Widodo terhadap investasi mengakibatkan maraknya perampasan ruang hidup masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, pemerintah menggunakan terminologi “eco” atau “green” untuk melancarkan bisnisnya. Kasus IKN misalnya, demi ambisi pemerintah memindahkan ibukota negara, masyarakat adat dipaksa pindah dari wilayahnya. Bukan itu saja, masyarakat adat dihadapkan pada bencana ekologi akibat pembangunan ibukota negara. Penggusuran paksa juga terjadi di Rempang, alih-alih melindungi masyarakat, pemerintah justru berpihak pada pebisnis untuk membangun Rempang Eco City.
Kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi
Meski Indonesia merupakan negara demokrasi, nyatanya keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha semakin nyata. Ini terlihat dari kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat yang membela haknya. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak kerusakan lingkungan di wilayahnya, seperti yang terjadi pada kasus Wadas, Rempang, hingga kriminalisasi terhadap buruh. Pengerahan aparat besar-besaran dengan senjata untuk berhadapan dengan massa aksi juga terjadi. Fenomena No Viral No Justice atau bagaimana aparat negara tidak memproses laporan masyarakat sebelum laporan tersebut viral, misalnya korban kekerasan seksual yang laporannya dibiarkan mangkrak oleh pihak kepolisian, persekusi dan pelanggaran ruang privat terhadap komunitas LGBTIQ.
Kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas
Hukum yang tajam ke bawah di era Jokowi sering terlihat. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat di Papua dan pelanggengan impunitas. Contoh lain yakni peristiwa Kanjuruhan yang memakan ratusan korban jiwa tidak diselesaikan dengan adil.
Komersialisasi, Penyeragaman, Penundukan Sistem Pendidikan
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara justru dikomersialisasi. Uang masuk sekolah yang mahal berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru. Sistem pendidikan yang ada pun dibuat untuk memenuhi kepentingan kapital.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan tindakan perlindungan koruptor
10 tahun kepemimpinan Jokowi, kita bisa melihat bagaimana KPK dilemahkan. Aksi besar-besaran #ReformasiDikorupsi menjadi bukti penggembosan KPK secara besar-besaran. Penindakan yang lemah bagi para koruptor, pemecatan pegawai KPK yang menolak upaya penggembosan KPK, hingga perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan keluarga Jokowi yang menjadi bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia.
Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Program Solusi Palsu untuk Krisis Iklim
Di tengah maraknya bencana krisis iklim yang terus terlihat, pemerintah justru menjerumuskan dan semakin merentankan masyarakat melalui solusi palsu. Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA seperti penghancuran wilayah Indonesia bagian Timur untuk proyek hilirisasi nikel, solusi ketenagalistrikan yang masih menggunakan batubara, hingga penggunaan biomassa yang menebang hutan secara besar-besaran. Kesepakatan kerjasama pendanaan transisi yang didominasi oleh utang seperti JETP pun direncanakan tidak digunakan dengan bijak seperti untuk proyek serta skema solusi palsu yang pada akhirnya hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang terdampak proyek ketenagalistrikan ataupun transisi energi yang tidak mendapatkan informasi komprehensif mengenai skema transisi, ataupun akses partisipasi yang bermakna, serta jaminan akan penegakan hukum serta pemulihan.
Sistem Kerja yang memiskinkan dan menindas pekerja
Keberadaan UU Cipta Kerja mengakibatkan buruh kehilangan banyak haknya. Selain itu sistem upah murah dan fleksibilitas tenaga kerja dilegalkan dengan dalih untuk memperbanyak investasi. Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan keselamatan pekerja. Sebagai contoh kecelakaan kerja yang banyak terjadi di perusahaan hilirisasi nikel. Sistem kerja mitra yang terjadi pada ojek online juga menyengsarakan karena tidak adanya jaminan jam kerja. RUU Pekerja Rumah Tangga yang tidak segera disahkan.
Pembajakan Legislasi
Perkawinan pemerintah dan pengusaha dalam rezim Jokowi mengakibatkan pembajakan legislasi. Akibatnya, kekerasan terhadap masyarakat sipil pun meningkat. Keberadaan UU ITE, Omnibus Law, Bank Tanah, Perppu Ormas, UU Minerba, hingga pengesahan RKUHP justru mempersempit demokrasi di Indonesia.
Militerisme dan militerisasi
Untuk mengamankan proyek-proyek investasi tersebut, pemerintah menggunakan label Proyek Strategis Nasional, sehingga mereka mengerahkan TNI untuk melindungi proyek para pengusaha.
Sejarah Mahkamah Rakyat
Dimulai dari Tribunal Russell pada 1967, tribunal masyarakat sipil muncul untuk mengisi kekosongan normatif yang diciptakan oleh kemunafikan dari keadilan internasional. Setelah Perang Dunia II, hanya kejahatan negara yang kalah yang diadili, sementara kejahatan pemenang diabaikan. Hal itu menciptakan “keadilan pemenang” yang tidak memenuhi standar hukum atau keadilan.
People Tribunal pertama diselenggarakan oleh Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre. Tribunal Russell menyelidiki dan mengevaluasi kebijakan luar negeri dan intervensi militer Amerika Serikat di Vietnam.
Bagaimana kamu bisa terlibat dalam People Tribunal ini?
Surat yang masuk ke panitia hanya dibaca oleh kurator yang dapat dipercaya untuk kemudian diberikan kepada tim perumus gugatan, sehingga hanya kurator yang dapat mengakses nama dan domisilimu.
Keterlibatan dalam Mahkamah Rakyat ini tidak kami batasi dari mengirim surat dan pengaduan saja, kamu juga bisa terlibat dengan meramaikan di sosial media.
Kamu dapat menceritakan keresahanmu sepanjang 10 tahun kepemimpinan Jokowi dengan menggunakan hastag #MahkamahRakyat.
Ajak pula kawan-kawan, keluarga, atau kenalanmu lainnya untuk terlibat dalam meramaikan acara ini.
Sesi 1 - Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya
Buka di YouTubeSesi 2 - Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya
Buka di YouTubeSidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang mengadili Rezim Jokowi atas Nawa (Sembilan) Dosa-dosanya